-->

BAB II. Konflik Kejiwaan Tokoh Utama Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari

BAB II
LANDASAN TEORI

A.     Psikologi Sastra sebuah Pendekatan Analisis Sastra
Kritik sastra memiliki korelasi yang erat dengan perkembangan kesusasteraan. Kritik sastra merupakan sumbangan yang dapat diberikan oleh para peneliti sastra bagi perkembangan dan pembinaan sastra. Sehingga untuk bisa menentukan bagaimana sesungguhnya perkembangan kesusasteraan Indonesia, dibutuhkan suatu kritik. Pendekatan dalam kritik sastra cukup beragam. Pendekatan-pendekatan tersebut bertolak dari empat orientasi teori kritik. Yang pertama, orientasi kepada semesta (universe) yang melahirkan teori mimesis. Kedua, teori kritik yang berorientasi kepada pembaca (audience) yang disebut teori pragmatik. Penekanannya bisa pada pembaca sebagai pemberi makna dan pembaca sebagai penerima efek karya sastra. Resepsi sastra merupakan pendekatan yang berorientasi kepada pembaca. Ketiga, teori kritik yang berorientasi pada elemen pengarang dan disebut sebagai teori ekspresif. Keempat adalah teori yang berorientasi kepada karya (work) yang dikenal dengan teori objektif.

Psikologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta (universe), namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Sebagaimana yang dikatakan oleh Suwardi Endraswara (Suwardi, 2003: 104-106) bahwa langkah yang perlu dilakukan oleh peneliti psikologi sastra tidak akan lepas dari sasaran penelitian. Apakah peneliti sekedar menitikberatkan pada psikologi tokoh dan atau sampai proses reativitas pengarang.
Jika peneliti menitikberatkan pada psikologi tokoh, yang harus dilakukan ada beberapa proses, yaitu pertama, pendekatan psikologi sastra menekankan kajian keseluruhan baik berupa unsur intrinsik maupaun unsur ekstrinsik. Namun, tekanan pada unsur intrinsik, yaitu tentang penokohan dan perwatakannya. Kedua, di samping tokoh dan watak perlu dikaji pula tema. Ketiga, konflik perwatakan tokoh perlu dikaitkan dengan alur cerita.
Sebuah karya sastra, sebagaimana setiap karya seni lainnya, merupakan suatu kebulatan yang utuh, khas dan berdiri sendiri, merupakan satu dunia keindahan dalam ujud bahasa yang dari dirinya sendiri telah dipenuhi dengan kehidupan dan realitas (Andre Hardjana: 1985: 25). Sebagai sebuah dunia yang mempunyai otonomi tersendiri dia menampilkan kehidupan, kehidupan menurut versi karya sastra itu sendiri, yang merupakan salah satu bentuk karya yang mempunyai unsur seni yang menonjol.
Dalam novel kehidupan ditampilkan oleh tokoh-tokohnya. Seperti layaknya kehidupan nyata, mereka, tokoh-tokoh dalam karya sastra tersebut, tak pernah terlepas dari konflik. Baik konflik yang bersifat psikis (kejiwaan) ataupun non psikis. Karenanya, konflik-konflik yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam sebuah cerita bisa dikenal dan dianalisa.
Salah satu teori yang bisa digunakan untuk membedah konflik kejiwaan yang dialami oleh tokoh-tokoh sebuah cerita adalah teori psikoanalisa yang dikemukakan oleh Sigmund Freud dan tokoh-tokoh lain yang se-ide dengan pemikirannya, antara lain Robert Lundin, L. Floyd Ruch dan G.Philip serta Hubert Bonner.
B.     Psikoanalisa Sigmund Freud
1.      Kejiwaan Manusia dalam Pandangan Sigmund Freud
Dalam pandangan Freud jiwa manusia digambarkan sebagai sebuah gunung es (Sarwono, Sarlito, W. 2000: 149). Bagian yang muncul di atas permukaan air adalah bagian yang terkecil, yaitu puncak gunung es itu, yang dalam hal kejiwaan adalah bagian kesadaran (consciousness). Agak di bawah permukaan air adalah bagian yang disebut pra- kesadaran (cubconsciouness). Isi dari bagian pra-kesadaran ini adalah hal-hal yang sewaktu-waktu dapat muncul ke kesadaran. Bagian terbesar dari gunung es itu berada di bawah permukaan air sama sekali dan dalam hal kejiwaan merupakan alam ketidaksadaran (unconsciouness). Ketidaksadaran berisi dorongan-dorongan yang ingin muncul ke permukaan atau ke kesadaran. Dorongan ini mendesak terus ke atas, sedangkan tempat di atas sangat terbatas sekali. Tinggallah ego (aku) yang memang menjadi pusat dari kesadaran yang harus mengatur dorongan – dorongan mana yang harus tetap tinggal di ketidaksadaran.
Sebagian besar dari dorongan-dorongan yang berasal dari ketidaksadaran itu memang harus tetap tinggal dalam ketidaksadaran, tetapi mereka ini tidak tinggal diam, melainkan mendesak terus dan kalau ego tidak cukup kuat menahan desakan ini akan terjadilah kelainan-kelainan kejiwaan seperti psikoneurose atau psikose ((Sarwono, Sarlito, W. 2000: 149).
Segala tingkah laku, menurut Freud berasal dari dorongan-dorangan yang terletak jauh di dalam ketidaksadaran. Teori Freud itulah yang kemudian dikenal dengan teori psikoanalisa.
Psikoanalisa Freud dapat berfungsi sebagai tiga macam teori, yaitu teori sebagai kepribadian, sebagai teknik analisa kepribadian dan sebagai metode penyembuhan.
Sebagai teori kepribadian, psikoanalisa mengatakan bahwa jiwa terdiri dari tiga sistem, yaitu id (es), Superego (uber ich) dan ego (ich). Id terletak dalam ketidaksadaran. Ia merupakan tempat dari dorongan-dorongan primitif, yaitu dorongan-dorongan yang belum dibentuk atau dipengaruhi oleh kebudayaam, yaitu dorongan untuk hidup dan mempertahankan kehidupan (life instinct) dan dorongan untuk mati (death instinct) Bentuk dari dorongan hidup adalah dorongan seksual atau disebut libido dan bentuk dari dorongan mati adalah agresi, yaitu dorongan yang menyebabkan seseorang ingin menyerang orang lain, berkelahi atau marah. Prinsip yang dianut oleh id adalah prinsip kesenangan (pleasure principle, yaitu bahwa tujuan dari id adalah memuaskan semua dorongan primitif).
Superego adalah suatu sistem yang merupakan kebalikan dari id. Sistem ini sepenuhnya dibentuk oleh kebudayaan. Superego berisi dorongan-dorongan untuk melakukan kebaikan, dorongan untuk mengikuti norma-norma masyarakat dan sebagainya. Dorongan dari superego ini akan menekan dorongan energi yang berasal dari   id yang bebas dan tidak terkendali. Di sinilah terjadi saling tekan antara keduanya.
Ego adalah sistem di mana kedua dorongan dari id dan superego beradu kekuatan. Fungsi ego adalah menjaga keseimbangan antara kedua sistem yang lainnya (id dan superego). Kalau seseorang dikuasai oleh id maka orang akan menjadi psikopat (tidak mengindahkan norma-norma dalam segala tindakan) dan jika superegonya yang mendominasi maka orang tersebut akan menjadi psikoneurose, suatu keadaan di mana seseorang terhalang mewujudkan dorongan id-nya yang berprinsip pada kesenangan, dan salah satu bentuk dari psikoneurose tersebut adalah perasaan frustasi atau putus asa.
2.      Perasaan Frustasi dan Reaksi Mekanistis
Seseorang yang mengalami frustasi akan bereaksi secara tidak sadar untuk mengurangi tekanan batin yang menimbulkan rasa sakit atau stress. Reaksi itu disebut dengan istilah defense mechanism (reaksi mekanistis). Dengan reaksi ini seseorang berusaha mempertahankan harga diri dari realita yang dihadapi. Reaksi mekanistis dalam ujudnya bisa berupa beberapa macam, antara lain aggressive reactions (reaksi menyerang), withdrawal reactions (reaksi menghindar) dan reaksi compromise reactions (reaksi kompromistis)
a.    Aggressive Reactions (Reakasi menyerang atau menyakiti)
Perilaku agresif merupakan reaksi terhadap frustasi. Ketika ini mengemuka individu yang bersangkutan bisa saja menyerang penghalang yang menghambat dirinya atau menyerang sasaran pengganti penghalang. Biasanya tindakan agresif ini tidak merupakan teknik penyesuaian yang baik. Memang bisa saja tindakan ini untuk sementara mengurangi ketegangan pikiran atau kepepatan jiwa yang menyertai frustasi. Lama kelamaan tindak agresif ini tidak disukai masyarakat atau akan beroleh hukuman dan rasa bersalah dari diri individu.
Selanjutnya agresi dibagi menjadi scapegoating, yaitu mencari kambing hitam, free floating anger  atau marah tanpa pandang bulu dan suicide atau menyalahkan diri atau bunuh diri.
Scapegoating adalah pengalihan menyerang ke objek pengganti ketimbang ke objek penyebab frustasi  karena ada rasa tidak berani untuk  mengungkapkan rasa tidak marah secara langsung terhadap orang penyebab frustasi sehingga ia merasa lega dengan mencurahkannya terhadap oang lain yang dipandang lebih lemah. Sedang free floating anger adalah reaksi orang frustasi yang kronis dimana kemarahan atau rasa permusuhan ia ungkapkan secara digeneralisir (tidak pandang bulu) meski terhadap suasana yang netral. Reaksi seperti ini sudah tidak proporsional dan kadang-kadang frustasi yang berkepanjangan membawa pelaku kepada tindak gelap mata (blind rage) di mana ia bisa mengamuk dan bisa jadi membunuh seseorang yang kebetulan berada di dekat.
Suicide adalah reaksi orang yang frustasi dengan cara menyerang diri sendiri sebagai objek pengganti sasaran kemarahan. Ia lakukan itu sebab ia takut mencurahkan kemarahan atau permusuhan itu secara terbuka. Jadinya ia menyalahkan dirinya sendiri, usaha bunuh diri atau sekedar ancaman bunuh diri.
Freud percaya bahwa lapis ego yang terganjal dalam hal realisasi hasrat dan keinginan dari waktu ke waktu. Jika tidak dapat menggapai sasaran yang dikehendaki boleh jadi terjadi pengalihan energi ke sasaran lain sebagai sasaran pengganti. Proses pengalihan ini , di mana energi bisa dialihkan kembali dari satu sasaran ke sasaran yang lain disebut displacement. Sehingga istilah lain dari  agressive adalah displacement (penggantian sasaran)
b.    Withdrawal reaction (Reaksi menghindar)
Wujud menghindar bisa berupa fisik maupun psikis. Reaksi menghindar dibagi menjadi repression, fantasy dan regression.
1)  Repression (penekanan)
 Repression (penekanan)didefinisaikan dalam buku Psychologi and Life sebagai proses peminggiran dari kesadaran, pikiran ataupun perasaan yang menimbulkan rasa sakit, rasa malu dan rasa bersalah. Dengan repression seseorang akan melupakan (forgetting) tekanan meskipun sesaat, sebab memori  yang tidak mengenakkan itu akan muncul kembali di belakang hari. Sehingga repression sering disebut sebagai selective forgetting
2)  Fantasy
Fantasy merupakan reaksi seseorang dengan mengkhayalkan sesuatu atau seseorang sehingga keinginannya bisa terpuaskan. Ketika hasrat keinginan seseorang gagal terealisasi orang tersebut boleh jadi menarik diri dengan masuk ke dunia khayal di mana keinginannya yang terhalang bisa mendapat penyaluran agar terpuaskan. Berkhayal atau melamun sebagai bentuk pelarian sesaat dari rasa frustasi adalah aktivitas normal.
3)  Regression
Regression adalah reaksi terhadap kegagalan mendapatkan kepuasan dengan menarik mundur ke belakang, ke masa lampau. Kadang - kadang seseorang  yang sedang frustasi secara tidak sadar berupaya kembali ke masa lampau yang dirasa teduh dan memberi rasa aman. Tindakan ini disebut regresi atau mundur ke belakang . Di dalam regresi orang tersebut melarikan diri dari realita yang menyakitkan dan dari tanggung jawab yang diembannya  dan menuju ke arah keberadaan masa kanak-kanaknya yang terlindungi. Orang itu kembali ke kebiasaannya yang lama dalam upaya penyesuaian diri agar lepas dari kepepatan batinnya seperti menangis, mencibir dan sebagainya
Konsep lain dari reaksi menghindar adalah nomadism dan beatnik reaction. Nomadism terkait dengan reaksi seseorang yang terus berkelana dari satu tempat ke tempat yang lain selalu berpindah-pindah kendatipun tidak diperoleh hasil yang nyata. Sedangkan beatnik reaction adalah perilaku eksentik seperti yang dilakukan oleh sekelompok orang yang berperilaku tidak lumrah sebab tidak mematuhi norma-norma masyarakat yang berlaku. Sikap ini merupakan cerminan dari sikap apatis (apaty grown self conscious) .
c.     Compromise Reaction
Di sini individu harus menyerah pada suasana yang mengancam atau tidak mengenakkan sebagai akibat frustasi tetapi tanpa harus menyerah total sehingga impian yang diharapkan tetap bisa direalisasi. Ini berarti individu harus menurunkan derajat ambisi dan hasrat keinginannya atau menerima tujuan lain yang bisa mengganti tujuan semula. Reaksi komprimistis ini terbagi menjadi:
1) Sublimasi
Sublimasi yaitu kepuasan langsung atas kebutuhan atau keinginan tertentu sering  tidak bisa terwujud sebab sasaran yang hendak digapai secara fisik tidak terjangkau atau tindakan yang diupayakan untuk menggapai sasaran hanya membangkitkan rasa tidak menyenangkan atau rasa bersalah. Di dalam suasana seperti itu seseorang bisa saja mengupayakan sarana lain untuk memperoleh kepuasaan seperti memilih sarana alternatif di mana ia mengarahkan energinya.
Meski tujuan seperti ini tidak pernah memberikan kepuasan yang persis sama dengan tujuan semula, bagaimana pun tujuan alternatif tersebut tetap bisa memberi saluran untuk mengungkapkan hasrat yang  terhambat dan bahkan mampu memberi kepuasan riil. Upaya penyaluran hasrat keinginan tidak langsung bisa digolongkan ke dalam tindak sublimasi atau subtitusi (penggatian kepuasan).
Dengan tindak sublimasi ternyata individu  yang mengalami frustasi, melakukan hal-hal yang dapat diterima oleh masyarakat tanpa harus menimbulkan hal-hal yang bertentangan dengan harapan masyarkat.


2) Reaksi Formation
Reaksi Formation yaitu ketika seseorang tidak sadar menekan keinginan-keinginannya yang tidak diterima masyarakat sebab kalau direalisasi justru akan menimbulkan rasa bersalah , orang itu seterusnya bisa jadi mengembangkan sikap dan tindakan yang berlawanan dengan keinginan – keinginan yang ditekan tadi. Sebagai misal jika seseorang mengalami masalah penyimpangan seksual maka ia menekan keinginannya itu sampai tingkat di bawah sadar dan diganti dengan tingkat sadar dengan puritan (meniadakan dorongan syahwat dalam dirinya). Reaksi mekanistis seperti ini dinamakan reaksi balik.
Lundin Robert.W. (Siswantoro, 2005: 110) mengatakan reaksi ini tejadi ketika seseorang menekan lapis ego (the ego) untuk menekan hasrat keinginannya sehingga tidak terwujud karena jika terwujud akan menimbulkan adanya ancaman baik secara langsung atau tidak terhadap diri yang bersangkutan. Lapis ego jadi bisa membelokkan ancaman atau bahaya dengan jalan mengganti dengan hasrat yang berlawanan. Hal ini bisa terjadi sebab pada manusia terdapat dua instink yaitu hasrat hidup dan membunuh atau destruktif ( life and death instinc). Dan masing-masing hasrat tersebut mempunyai cabang manifestasinya sendiri-sendiri, maka bisa jadi serangkaian kemungkinan pasangan yang berlawanan. Misal seorang mengganti benci dengan cinta (love and hate) mengganti benda yang menakutkan menjadi benada yang menyenangkan dan sebagainya.
3) Projection
Projection bisa dipahami sebagai berikut: Kadang-kadang ketika pikiran dan perasaan seseorang ternyata tidak bisa diterima orang lain, orang yang bersangkutan tidak hanya menekan pikiran-pikiran itu tetapi juga berusaha menyakinkan diri sendiri secara tidak sadar bahwa orang lain memiliki pikiran dan perasaan yang sama-sama tidak dapat diterima orang lain seperti yang ia miliki. Dengan reaksi projeksi seperti ini, orang tersebut mengarahkan rasa agresifnya ke orang lain ketimbang kepada diri sendiri. Sebagai contoh suami yang tidak setia dan suka selingkuh menuduh istri juga tidak setia terhadap suami. Reaksi projeksi memungkinkan seseorang menyalahkan orang lain atau benda-benda lain di sekitarnya yang dipandang sebagai penyebab kegagalan yang sebenarya adalah pelaku itu sendiri (Siswantoro, 2005: 111).
4) Rasionalization (pembenaran)
Rasionalization (pembenaran)reaksi ini dimasukkan dalam kategori reaksi kompromi (Ruch, 1977: 474). Rasionalisasi adalah proses merekayasa alasan agar terkesan logis atau situasi tertentu yang kalau dibiarkan tanpa alasan, hanya akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat atau harga diri. Rasionalisasi meliputi tiga tipe, yaitu: sifat kategori anggur masam, yang digambarkan seperti seekor rubah yang ingin makan buah anggur yang ada di atas kepalanya tetapi karena ia tidak dapat menjangkaunya ia kesal dan berkata, : Anggur itu terlalu masam. Tipe kedua adalah pecinta yang ditolak, karena ditolak kemudain dia kesal dan berkata bahwa gadis yang ia cintai memiliki cacat. Sedang tipe yang ketiga adalah jeruk manis, yang diajukan J.M Barrie yang mengatakan: melakukan pekerjaan yang tidak disukai memang tidak menyenangkan tetapi berupaya menyukai pekerjaan yang sedang ia lakukan merupakan rahasia kebahagiaan. Tipe keempat adalah rasionalisasi pelaku kejahatan, yang mengaku tindak kejahatan yang ia lakukan berdasar motivasi mulia. Contoh seseorang Al Capone adalah seorang gangster dan penyelundup minuman keras menganggap diperlakukan polisi tidak adil sebab apa yang ia lakukan adalah memberi kepuasan kepada rakyat.
Meski realisasi nampaknya logis tetapi ia didasarkan atas alasan yang keliru. Ia sesungguhnya sebagai dalih untuk membenarkan (justify) tindakan seseorang  untuk menyelamatkan harga diri dari rasa malu, turun harga dan lain sebagainya karena kegagalan.

0 Response to "BAB II. Konflik Kejiwaan Tokoh Utama Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari"

Posting Komentar

ads midle