Kesepertihidupan dalam Sastra
Ada sebuah artikel di harian suara karya berjudul Fiksi Dalam Sinetron Indonesia yang ditulis Beni Setia. Isinya sinetron Indonesia berada diantara film Bollywood dan Hollywood. Tidak hanya pada ceritanya tapi juga aspek keseluruhan sebuah sinetron. Saya petikkan satu alinea begini : Teks yang biasanya diungkapkan sebagai kritik atas adegan sinetron, yang bunyinya, "Dalam keseharian nggak begitu."Misalnya, orang miskin yang berpakaian resik, dengan mata sehat bersinar dan wajah bersih. Perempuan sakit yang memakai make up tak resmi mau arisan, dan bukan gurat derita bermata kosong. Ibu rumah tangga yang menunggu suami pulang dengan dandanan seperti mau nyambut tamu untuk dinner atau party. Dan selalu ada adegan makan ala Eropa. Dst. Dll.
Setiap hal pastilah saling mempengaruhi. Saya membaca novel penulis Amerika, saya jadi paham gaya bercerita dan dialognya, begitu juga novel dari Negara lain, juga ketika saya baca novel penulis dari Indonesia. Lantas ketika saya menulis, pastilah saya sedikit dan banyak meniru salah satu gaya dari yang saya baca itu. Ketika kita kecil belum bisa menulis, kita melihat tulisan guru kita, lantas kita tiru. Tapi lama kelamaan kita akan berbeda cara menulisnya dengan guru kita. Dari bentuk tulisannya, sampai kepada yang lainnya. Sinetron dan film Indonesia pastilah akan begitu. Industri semaju Hollywood pun masih terpengaruh gaya bertutur dan pembuatan film Hongkong. Meskipun Hongkong tidak kalah banyak meniru film-film Hollywood, baik dari cerita dan gaya bertutur filmnya. Tapi Hollywood mempunyai cirri sendiri, begitu juga Hongkong. Kita sudah akan tahu mana film buatan Hongkong dan mana Hollywood, diluar soal pemain tentu saja.
Film Indonesia lahir dari tangan orang dagang, bukan orang sekolah film. Perkembangan film Indonesia pun mengikuti jamannya sebagai film dagang. Bahwa kalau sekarang sinetron dan film idonesia kalau ditonton bikin kita senewen itulah realitas yang tengah terjadi. Maka kita patut tabah saat melihat karakter Orang sabar yang kesabarannya melebihi kesabaran malaikat, karakter orang jahat yang kejahatannya melebihi raja iblis yang raja tega. Juga gambaran yang ditulisan Beni setia diatas.
Buat saya ini hanya masalah pasar. Tidak lain. Karena ternyata industri film (Indonesia) itu sama saja dengan pabrik sepatu yang sewaktu-waktu bisa bangkrut. Kalau ‘juragannya’ (baca:produser) tidak bisa ‘ngutang’ lagi modalnya, habislah sudah production house-nya. Artinya tidak bisa membuat sinetron dan film. Padahal pasar penonton di Indonesia lebih banyak dari Amerika Serikat. Banyak pengamat film bilang film Indonesia cuma kalah berdagang. Boleh jadi betul tapi seharusnya kalau mau dagang, ‘barangnya’ harus berkualitas dulu biar bisa laku diperdagangkan. Biar bisa bersaing sama film Negara lain. Tapi realitasnya juga, boro-boro menjadi bagus, menjadi benar saja susah.
Soal kualitas, pertama-tama yang harus dibenahi Skenario. Habis itu sutradara. Kalau dua unsure paling penting itu yang bisa dibenahi, dijamin tidak ada gambaran karakter yang aneh bin ajaib, tidak ada karakter ibu-ibu menyambut suaminya pulang kerja seperti menyambut tamu hajatan, tidak ada orang sakit yang mukanya kayak habis pulang pesta. Dunia sinetron dan film itu dunia fiksi, seperti dunia novel dan dunia khayalan lainnya. Perkara ceritanya ada yang berasal dari kisah nyata, tetap saja unsur selebihnya imajiner. Fiksi itu memang haruslah kesepertihidupan. Tapi harus tetap berada dalam dunia khayalan. Jadi haruslah penulis scenario, sutradara dan pekerja film dan sinetron lainnya, belajar untuk bisa membuat dunia fiksi (khayalan) dengan berkualitas.
0 Response to "Kesepertihidupan dalam Sastra"
Posting Komentar