Menulis, Semudah Menumpahkan Air
 Nah, setelah kemarin saya posting tentang Menulis: Kembali ke Fitrah Manusia, kini akan kita lanjutkan pada janji saya, untuk menulis dengan judul, Menulis Semudah Menumpahkan Air.
 Bagaimana jika di hadapan Anda ada sebuah ember berisi air penuh, 
kemudian Anda diminta untuk menumpahkan air itu, mudah atau sulit 
menurut Anda. Kalau masih sulit bagaimana kalau air dalam ember itu kita
 kurangi sehingga menjadi seper-enamnya, menurut Anda mudah atau sukar 
menumpahkan air dalam ember itu? Yups, kalau Anda menjawab mudah, maka 
sebenarnya kegiatan menulis jauh lebih mudah dan ringan dari pekerjaan 
menumpahkan air dalam ember tersebut. Ah, masaaaaaaaak?
 Saking mudahnya, sampai ada yang mengatakan bahwa menulis itu seperti 
makan masakan Padang, awalnya terasa pedas, kemudian pedasnya berangsur 
hilang yang tinggal hanyalah nikmatnya.
 Kegiatan menulis adalah kegiatan yang dilakukan manusia setiap hari, 
bahkan sejak ia masih berada di SD. Bukankah setiap hari kita berhadapan
 dengan sesuatu. Bukankah sesuatu itu kita inginkan, masuk ke memori 
pikiran kita, bukankah setiap harinya pikiran kita selalu dimasuki oleh 
informasi apapun, baik informasi yang kita lihat maupun yang kita 
dengar. Nah, pada saat kita berhadapan dengan sesuatu itu lalu kita 
menginginkan agar sesuatu itu tersimpan dalam pikiran kita, pada 
dasarnya kita sedang melakukan kegiatan menulis. Ya, menulis dalam 
pikiran, menulis dalam otak kita.
 Hups, jangan mengernyitkan kening dulu. Begini, bukankah orang yang 
menulis, mengetikkan huruf-huruf dengan keyboard atau apa saja yang bisa
 ia gunakan untuk menulis, itu pada dasarnya dia sedang menuliskan 
kembali apa-apa yang pernah dia simpan di pikirannya, di otaknya. Nah, 
jadi jelas kan sekarang bahwa pada dasarnya menulis itu selalu dilakukan
 oleh manusia, tidak peduli apakah anak-anak, orang dewasa ataupun orang
 tua. Tidak peduli juga apakan ia sehat atau sedang sakit. Semua orang 
setiap harinya pasti melakukan kegiatan menulis, sekali lagi menulis di 
otak.
 Jadi lebih mudah mana menulis, meski hanya menulis di otak dengan 
menumpahkan air dari ember? Lebih mudah menulis, kan? Menumpahkan air 
sedikit banyak membutuhkan tenaga. Sedangkan menulis di otak tidak 
membutuhkan apa-apa, ya sekedar melihat atau mendengar saja, lalu secara
 refleks otak akan mencatatnya dalam memori.
 Kalau demikian, apa susahnya menulis? Apa susahnya mengungkapkan 
kembali apapun yang ada dalam pikiran kita menjadi sebuah deretan huruf 
yang membentuk kata, dan deretan kata yang membentuk kalimat? Mudah 
bukan?
Mungkin kemudian Anda akan membantah, lha nanti kalau tulisan kita tidak dimuat, tidak dibaca, atau Anda beralasan dengan segudang alasan lain yang bisa Anda lontarkan. Silakan Anda berargumentasi sebanyak dan sepuas Anda kalau Anda hanya punya keinginan menulis saja tanpa mau menulis, dan Anda akan berhenti di situ saja. Selamanya, Anda tidak akan pernah menjadi penulis. Karena sebenarnya menulis itu melakukan bukan ingin menulis, begitu kurang lebih kalimat yang pernah ditulis oleh Ersis Warmannsyah Abbas dalam bukunya, Suer, Nulis itu Mudah.
 Nah, jadi kalau Anda ingin menulis ya, menulis saja, titik. Masalah mau
 dibaca, mau dimuat di media atau mau diapakan peduli amat, pokoknya 
menulis dan menulis, gunakan otak kanan untuk memulianya. Coba baca 
ulang postingan kemarin, Menulis: Kembali ke Fitrah Manusia.

Tetap akan terasa sulit jika tidak pernah mencoba mengawali untuk menulis.
BalasHapusSaya malah belajar menulis lewat status2 facebook pak. Tidak hanya menuangkan kegiatan sehari-hari, tetapi juga menuangkan kata-kata motivasi dalam sebuah status. Setidaknya itu latihan menulis yang dapat diapresiasi oleh teman-teman secara langsung melalui komentar dan jempol mereka.. hehe
Benar sekali, Bu Sukajiyah, salah satu cara membiasakan menulis adalah selalu menulis, menulis apa saja. Kalau bukan tulisan panjang, ya tulisan dalam bentuk status di FB, termasuk mengomentari sebuah artikel di blog ini... hehehehehe. Makasih, Bu.
BalasHapus